Setiap perjanjian pada hakekatnya merupakan kesepakatan para pihak yang membuatnya.
Pada waktu membuat perjanjian, terjadi tawar menawar diantara kedua pihak yang akan membawa pada adanya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.
Apapun bentuk atau obyek dari suatu perjanjian, pada hakekatnya perjanjian berisi kehendak para pihak yang mengikatkan diri untuk melaksanakan hal-hal yang diperjanjikan Hal ini menimbulkan hak dan kewajiban, yang apabila salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi) dapat dituntut oleh pihak yang lainnya untuk segera melaksanakan kewajibannya.
Bagi para pihak, perjanjian berfungsi sebagai undang-undang. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (konsensual). Pihak-pihak diberi kebebasan untuk membuat kontrak sesuai dengan keperluannya, baik yang telah ada pengaturannya maupun yang belum ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Asas Kebebasan Berkontrak ini dijamin oleh pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata): yang berbunyi : "Setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".
Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi empat syarat yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata:
1. Adanya kesepakatan.
Suatu perjanjian tidak sah apabila dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.
Perjanjian harus dibuat dengan persetujuan yang ikhlas dari kedua belah pihak.
2. Adanya kecakapan.
Yang dapat membuat perjanjian adalah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai
subyek hukum.
Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat perjanjian, namun terdapat
pengecualian yaitu anak-anak ( sesuai Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang dimaksud dengan anak-anak adalah orang yang belum berumur 18 tahun dan belum
menikah), orang dewasa yang ditempatkan dibawah pengampuan (curatele), dan orang yang
sakit jiwa.
3.Adanya hal tertentu.
Dalam suatu perjajian, obyek yang diatur didalamnya harus jelas. yaitu harus dijelaskan
obyek yang mana, ukuran , spesifikasi dan sebagainya. Semakin jelas obyek perjanjian, maka
semakin baik perjanjian tersebut.
4. Adanya sebab yang dibolehkan atau diperkenankan.
Walaupun para pihak dapat membuat perjanjian sesuai dengan keperluannya, namun terdapat
pengecualian yaitu, bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan,
ketertiban umum, moral dan kesusilaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar