Selasa, 18 November 2014

PERJANJIAN FRANCHISE

      Istilah Franchise atau dalam bahasa Indonesia disebut Waralaba, menurut arti katanya adalah : Usaha yang memberikan laba lebih/ istimewa (previlege) dari Pemberi Waralaba (Franchisor) kepada penerima Waralaba (Franchisee) dengan sejumlah kewajiban atas pembayaran-pembayaran.

      Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada awal dekade 1980-an, seiring dengan masuknya waralaba asing di sektor usaha rumah makan siap saji atau Fast Food Chain Restaurant seperti KFC, Mc Donald dan lain sebagainya.                

      Kerjasama bisnis dengan sistem Franchise ini sekarang amat disukai oleh para pebisnis. Sebenarnya, menurut sejarahnya, model usaha semacam ini bukanlah sesuatu hal yang baru. Di Amerika Serikat, sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh perusahaan mesin jahit SINGER pada tahun 1851, yang kemudian diikuti oleh General Motors Industry pada tahun 1898.

      Sistem ini kemudian berkembang dengan cepat. Di Amerika Serikat sendiri, tercatat pada tahun 1950-an sekitar 35% dari keseluruhan usaha ritel menggunakan sistem Franchise. Kini, usaha yang berbentuk Franchise telah semakin berkembang dengan beragam usaha, diantaranya adalah rumah makan, jasa pemasaran, mini market, toko buku, hotel dan juga hingga tempat perawatan tubuh dan pusat-pusat kebugaran.

      Pengaturan tentang Waralaba ini di Indonesia diatur pada Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1997 tentang Waralaba. Menurut peraturan tersebut, yang dimaksud dengan waralaba adalah : 

"Suatu perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa".

      Dalam kerjasama Franchise ini terdapat dua pihak yaitu :

      Pertama, Franchisor, yaitu Pemilik/pemegang hak merek/ intelektual tertentu.
Pada umumnya merek barang atau jasa yang dimiliki Franchisor adalah barang atau jasa yang telah dikenal dan dibutuhkan oleh masyarakat luas. Hal lain yang harus ada pada Franchisor adalah, sistem manajemen dari Franchisor juga harus kuat.

     Kedua, Franchisee, yaitu investor yang merupakan pihak yang akan menggunakan merek dan sistem manajemen Franchisor untuk dipakai dalam bisnisnya. Untuk menjadi Franchisee ia harus membayar sejumlah nilai atau Franchise Fee kepada Franchisor.

     Semua kesepakatan ini antara Franchisor dengan Franchisee ini dituangkan dalam Franchise Agreement.
Franchise Agreement ini adalah dasar bagi kerjasama kedua belah pihak, yang dalam perjanjian tersebut harus memberikan win-win solution kepada kedua belah pihak.

     Selain itu, sehubungan dengan perjanjian Franchise ini, Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) juga telah membuat semacam Kode Etik yang berkaitan dangan kerjasama Franchise ini yang yang mengakomodasi hal-hal yang sepatutnya dilakukan oleh baik Franchisor maupun oleh Franchisee sehingga menghasilkan kerjasama yang baik dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.

     Dalam Perjanjian Franchise, Franchisor dan Franchisee sepakat untuk melaksanakan perjanjian dalam bentuk kerjasama, yang secara umum mengatur hal-hal sebagai berikut :

    -   Syarat- syarat pemberian lisensi ( izin) dari Franchisor kepada Franchisee.sesuai persyaratan yang 
       ditetapkan oleh Franchisor.

    -   Jangka waktu perjanjian

    -   Status Franchisee

    -   Biaya Franchise

    -   Kewajiban Franchisor

    -   Lokasi Usaha Franchisee

    -   Operasi, yang meliputi pengadaan barang-barang, kelengkapan, tenaga kerja dan biaya pengoperasian

    -   Jam kerja usaha 

    -   Kepemilikan simbol-simbol dan merek

    -   Penggantian biaya -biaya dari Franchisee kepada Franchisor

    -  Pengaturan Pajak

    -  Modifikasi Sistem, Tanda dan Merek

   -   Asuransi

   -   Pemeriksaan barang-barang dan peralatan sesuai standard dari Franchisor

  -   Laporan operasional dan Biaya Administrasi

  -   Rahasia Dagang

  -  Amandemen Perjanjian

 -   Pembatalan Perjanjian

 -   Prosedur Pembatalan/Pengakhiran Perjanjian

 -   Domisili Hukum.



   



Selasa, 04 November 2014

PERJANJIAN

        Setiap perjanjian pada hakekatnya merupakan kesepakatan para pihak yang membuatnya.
 Pada waktu membuat perjanjian, terjadi tawar menawar diantara kedua pihak yang akan membawa pada adanya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.

Apapun bentuk atau obyek dari suatu perjanjian, pada hakekatnya perjanjian berisi kehendak para pihak yang mengikatkan diri untuk melaksanakan hal-hal yang diperjanjikan Hal ini  menimbulkan hak dan kewajiban, yang apabila salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi) dapat dituntut oleh pihak yang lainnya untuk segera melaksanakan kewajibannya.

Bagi para pihak, perjanjian berfungsi sebagai undang-undang.  Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (konsensual). Pihak-pihak diberi kebebasan untuk membuat kontrak sesuai dengan keperluannya, baik yang telah ada pengaturannya maupun yang belum ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Asas Kebebasan Berkontrak ini dijamin oleh pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  (KUH Perdata): yang berbunyi : "Setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".

       Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi empat syarat yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata:

     1. Adanya kesepakatan.

         Suatu perjanjian tidak sah apabila dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan. 
         Perjanjian harus dibuat dengan persetujuan yang ikhlas dari kedua belah pihak.

     2. Adanya kecakapan.

        Yang dapat membuat perjanjian adalah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai 
         subyek hukum.
         Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat perjanjian, namun terdapat 
         pengecualian yaitu anak-anak ( sesuai Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, 
         yang dimaksud dengan anak-anak adalah orang yang belum berumur 18 tahun dan belum 
         menikah), orang dewasa yang ditempatkan dibawah pengampuan (curatele), dan orang yang 
         sakit jiwa.

      3.Adanya hal tertentu.

        Dalam suatu perjajian, obyek yang diatur didalamnya harus jelas. yaitu harus dijelaskan 
        obyek yang mana, ukuran , spesifikasi dan sebagainya. Semakin jelas obyek perjanjian, maka 
        semakin baik perjanjian tersebut.

     4. Adanya sebab yang dibolehkan atau diperkenankan.

        Walaupun para pihak dapat membuat perjanjian sesuai dengan keperluannya, namun terdapat 
        pengecualian yaitu, bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan, 
        ketertiban umum, moral dan kesusilaan.